Manfaat Pohon Angsana
pohon angsana |
Nama asing: Rosewood (Amerika); angsana (Malaysia); pradoo (Thailand); red sandalwood, burmese rosewood, pinati (Samoa); narra (Filipina); santai rouge amboine (Perancis); tnug (Kamboja); liki (Pulau Solomon)
Ikhtisar
Tumbuh di berbagal tipe tanah mulai tanah subur hingga berbatu di sekitar ketinggian 600 m dpl. Penghasil kayu bernilai tinggi yang dimanfaatkan untuk mebel, lantai, dan alat musik. Di daerah Sulawesi, ada yang menyebutnya naga. Itu lantaran kayu mengeluarkan cairan berwarna merah tua yang diibaratkan seperti darah naga. Secara komersial umum disebut rosewood.
Nama genus berasal dari bahasa Yunani Kuno, pteron yang berarti sayap dan karpos yang berarti buah, merujuk pada polong buah Pterocarpus. Sinonimnya Pterocarpus wallichii, P. zollingeri, dan P. papuanus. Dua varian P. indicus yang diketahui yaitu P. indicus forma ecinatus dan P. indicus forma indicus. Perbedaan kedua varian itu dapat dilihat dari pembungkus bijinya. Pada forma ecinatus pembungkus biji tertutup oleh bulu lebat, sedangkan forma indicus, halus.
Daun: Menyirip dengan jumlah genap. Pangkal lembaran daun bundar dengan ujung meruncing. Permukaan daun licin. Panjang daun 12-22 cm terdiri dari 5-11 lembaran anak daun. Tepian daun rata, tetapi daun terlihat sedikit bergelombang.
Bunga: Muncul di ketiak daun. Tangkai bunga sepanjang 6-15 cm. Di Indonesia dan Filipina, musim berbunga sekitar Februari hingga Mei. Kelopak bunga seperti lonceng. Warna bunga kuning hingga jingga kekuningan. Sedikit berbau harum. Berkelamin ganda. Bunga mekar penuh selama satu hari. Bunga mekar dalam kondisi cukup air terutama setelah hujan.
Buah: Umumnya hanya beberapa bunga yang terbentuk menjadi buah. Polong buah tertutup berbentuk semiorbikular Pucuk berbunga berdiameter 2-3 cm dikelilingi sayap bermembran (samara) 4-6 cm yang membantu penyebaran biji di perairan. Buah terlihat pipih tipis dengan bagian tengah agak menebal dan pinggiran sedikit bergelombang. Buah berwarna hijau muda kemudian berubah cokelat ketika kering. Ketebalan buah 5-8 mm.
Biji: Bentuk memanjang seperti buncis. Satu buah memiliki 1-4 biji. Panjang 6-8 mm.
buah angsana |
Rupa Angsana
Tanaman: Tinggi mencapai 30-40 m dengan tajuk yang lebat. Kadang tumbuh dengan batang berbonggol dan akar papan. Kayu mengeluarkan cairan merah tua.Daun: Menyirip dengan jumlah genap. Pangkal lembaran daun bundar dengan ujung meruncing. Permukaan daun licin. Panjang daun 12-22 cm terdiri dari 5-11 lembaran anak daun. Tepian daun rata, tetapi daun terlihat sedikit bergelombang.
Bunga: Muncul di ketiak daun. Tangkai bunga sepanjang 6-15 cm. Di Indonesia dan Filipina, musim berbunga sekitar Februari hingga Mei. Kelopak bunga seperti lonceng. Warna bunga kuning hingga jingga kekuningan. Sedikit berbau harum. Berkelamin ganda. Bunga mekar penuh selama satu hari. Bunga mekar dalam kondisi cukup air terutama setelah hujan.
Buah: Umumnya hanya beberapa bunga yang terbentuk menjadi buah. Polong buah tertutup berbentuk semiorbikular Pucuk berbunga berdiameter 2-3 cm dikelilingi sayap bermembran (samara) 4-6 cm yang membantu penyebaran biji di perairan. Buah terlihat pipih tipis dengan bagian tengah agak menebal dan pinggiran sedikit bergelombang. Buah berwarna hijau muda kemudian berubah cokelat ketika kering. Ketebalan buah 5-8 mm.
Biji: Bentuk memanjang seperti buncis. Satu buah memiliki 1-4 biji. Panjang 6-8 mm.
Kandungan kimia
Daunnya mengandung loliolide 1 dan paniculatadiol 2. Sementara bunganya mengandung lupeol 3 dan phytol esters 4. Pada penelitian kayu teras Pterocarpus indicus ditemukan adanya formononetin, isoliquiritigenin, (-)-p-hydroxyhydratropic acid, dan 2-arylbenzofuran. Angolensin dan pterocarpin yang ditemukan pada penelitian sebelumnya juga berhasil diisolasi.
Pemanfaatan Angsana
Penelitian yang dilakukan Pulunggono HB (1999) di Amarasi, Kabupaten Kupang serta di Mollo dan Amanatun, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Barat yang umumnya ditinggali suku Dawan mengungkap penggunaan kayu angsana untuk bahan bangunan. Kayu yang disebut penduduk Timor Barat dengan nama matani itu lebih disukai daripada kayu kabesak Acocio leucophloeo karena daya tahannya yang baik.Di Jakarta dan Yogyakarta, angsana mudah ditemui di pinggiran jalan utama yang luas sebagal pohon peneduh. Seduhan daunnya dapat digunakan sebagai sampo. Di Kalimantan, getahnya yang berwarna merah-kino dijadikan pewarna tekstil ataupun keranjang agar berwarna kemerahan.
Kino berperan seperti tanin sehingga kerap digunakan sebagai pengkelat untuk penderita diare kronis, leukorrhea (keputihan), blenorrhea (kelebihan lendir), dan hemoroid (wasir). Secara tradisional, penduduk di Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, menggunakan getahnya untuk mengobati sakit gigi.
Getah daun tanaman yang dikenal penduduk lokal dengan makari itu dimanfaatkan penduduk Timor Timur untuk mengatasi luka ringan pada bagian mulut dengan cara aplikasi di bagian luar. Penduduk Manokwari, Papua, memanfaatkan kulit kayunya untuk mengobati disentri. Pengobat tradisional di Desa Sukajadi, Tamansari, Bogor, Jawa Barat, menggunakan daun, getah, dan kulit kayunya untuk obat. Penyakit yang diatasi yaitu demam, sakit gigi, disentri, dan sakit paru-paru. Caranya dengan menghancurkan bagian tanaman atau meremas baik ditambahkan dengan air atau tidak dan tidak melalui proses pemanasan.
Aplikasi pada penyakit tersebut dilakukan dengan cara meminum langsung dan dioleskan pada bagian luar tubuh. Misalnya, untuk sakit gigi, ramuan terdiri dari 3 tetes air perasan daun angsana, 1 bagian akar Solanum torvum, dan 3 lembar daun cabai Copsicum onnum yang ditumbuk kemudian dioleskan sebagai obat luar.
Di Distrik Buin dan Siwai, Papua Nugini, angsana digunakan untuk mengatasi masalah penyakit mata termasuk infeksi mata, blepharitis – peradangan atau infeksi pada kelopak mata yang ditandai dengan pembengkakan dan juga butiran-butiran seperti pasir di kelopak mata, stye – infeksi kelenjar di tepi atau di bawah kelopak mata, dan kalazion – inflamasi granulomatosa kelenjar meibomian di kelopak mata atas atau bawah yang ditandai dengan pembengkakan setempat dan biasanya berkembang lambat selama beberapa minggu. Selain itu, di Buin, angsana juga digunakan untuk mengatasi anemia, luka luar, sakit kuning, dan merangsang kelahiran.
Di Kepulauan Vanuatu daun angsana dimanfaatkan untuk mengatasi amenorrhea – suatu kondisi tidak terjadinya haid (menstruasi) pada masa pubertas maupun dewasa. Amenorrhea merupakan gejala yang mendasari suatu penyakit. Caranya dengan merebus segenggam penuh daun dalam air kemudian dibiarkan hingga dingin lalu diminum sehari sekali. Sementara itu perut dikompres dengan daun angsana hangat yang sebelumnya dipanaskan.
Daun angsana juga digunakan sebagai perangsang menstruasi pertama setelah melahirkan. Penduduk Vanuatu mengolah daun menjadi teh dan meminumnya ketika dingin setiap hari sampai muncul menstruasi. Daunnya yang dipanaskan juga dikompres pada pusar dan diaplikasikan bersamaan dengan minum teh. Untuk merangsang sterilisasi alias berfungsi sebagai kontrasepsi, ranting muda angsana sebanyak 5-10 cm dan ranting muda Casuarina equisetifolio dalam jumlah yang sama dikunyah selama lima hari. Airnya ditelan sedangkan ampasnya dibuang.
Di Filipina, khususnya di wilayah Tigbauan, lloilo, angsana digunakan untuk mengobati penyakit kulit. Namun, tidak dijelaskan secara spesifik dalam jurnal penyakit kulit seperti apa yang dimaksud. Masih di Filipina, penelitian yang dilakukan pada suku Fligaonon di Rogongon, lligan City, Mindanao, menyebutkan tagok digunakan untuk mengatasi gusi bengkak dengan cara melukai kulit kayu kemudian mengambil getahnya. Getah itulah yang dioleskan langsung pada gusi yang bengkak. Penelitian tanaman obat di Research Institutes of South-west Nigeria, Nigeria menyebut penggunaan angsana untuk filariasis – penyakit kaki gajah.
Di wilayah Kepulauan Vanuatu dan Kaledonia Baru, dekoksi – sediaan herbal cair yang dibuat dengan mengekstraksi sediaan herbal dengan air pada suhu 90°C selama 30 menit – daunnya digunakan untuk mengatasi keracunan ikan ciguatera. Dekoksi juga dapat dibuat dengan menggiling kulit kayu angsana dengan kulit batang dadap ayam Erythrina variegata. Setelah ditambah air, ramuan diminum.
Di Distrik Buin dan Siwai, Papua Nugini, angsana digunakan untuk mengatasi masalah penyakit mata termasuk infeksi mata, blepharitis – peradangan atau infeksi pada kelopak mata yang ditandai dengan pembengkakan dan juga butiran-butiran seperti pasir di kelopak mata, stye – infeksi kelenjar di tepi atau di bawah kelopak mata, dan kalazion – inflamasi granulomatosa kelenjar meibomian di kelopak mata atas atau bawah yang ditandai dengan pembengkakan setempat dan biasanya berkembang lambat selama beberapa minggu. Selain itu, di Buin, angsana juga digunakan untuk mengatasi anemia, luka luar, sakit kuning, dan merangsang kelahiran.
Di Kepulauan Vanuatu daun angsana dimanfaatkan untuk mengatasi amenorrhea – suatu kondisi tidak terjadinya haid (menstruasi) pada masa pubertas maupun dewasa. Amenorrhea merupakan gejala yang mendasari suatu penyakit. Caranya dengan merebus segenggam penuh daun dalam air kemudian dibiarkan hingga dingin lalu diminum sehari sekali. Sementara itu perut dikompres dengan daun angsana hangat yang sebelumnya dipanaskan.
Daun angsana juga digunakan sebagai perangsang menstruasi pertama setelah melahirkan. Penduduk Vanuatu mengolah daun menjadi teh dan meminumnya ketika dingin setiap hari sampai muncul menstruasi. Daunnya yang dipanaskan juga dikompres pada pusar dan diaplikasikan bersamaan dengan minum teh. Untuk merangsang sterilisasi alias berfungsi sebagai kontrasepsi, ranting muda angsana sebanyak 5-10 cm dan ranting muda Casuarina equisetifolio dalam jumlah yang sama dikunyah selama lima hari. Airnya ditelan sedangkan ampasnya dibuang.
Di Filipina, khususnya di wilayah Tigbauan, lloilo, angsana digunakan untuk mengobati penyakit kulit. Namun, tidak dijelaskan secara spesifik dalam jurnal penyakit kulit seperti apa yang dimaksud. Masih di Filipina, penelitian yang dilakukan pada suku Fligaonon di Rogongon, lligan City, Mindanao, menyebutkan tagok digunakan untuk mengatasi gusi bengkak dengan cara melukai kulit kayu kemudian mengambil getahnya. Getah itulah yang dioleskan langsung pada gusi yang bengkak. Penelitian tanaman obat di Research Institutes of South-west Nigeria, Nigeria menyebut penggunaan angsana untuk filariasis – penyakit kaki gajah.
Di wilayah Kepulauan Vanuatu dan Kaledonia Baru, dekoksi – sediaan herbal cair yang dibuat dengan mengekstraksi sediaan herbal dengan air pada suhu 90°C selama 30 menit – daunnya digunakan untuk mengatasi keracunan ikan ciguatera. Dekoksi juga dapat dibuat dengan menggiling kulit kayu angsana dengan kulit batang dadap ayam Erythrina variegata. Setelah ditambah air, ramuan diminum.
Aktivitas farmakologis
Antimikrob: Campuran loliolide 1 (>85%) dan paniculatadiol 2 (< 15%) diperoleh dari ekstrak etil asetat daun Pterocarpus indicus melalui kromatografi serapan (silica gel), sementara bunga yang dikeringanginkan menghasilkan lupeol 3 dan phytol esters 4. Tes antimikrobial pada campuran 1 dan 2 mengindikasikan aktivitas tingkat sedang melawan Candida albicans - penyebab keputihan dan infeksi lain pada kulit, mukosa, dan organ dalam manusia, aktivitas tingkat rendah melawan Pseudomonas aeruginosa-bakteri gram negatif yang menyebabkan penyakit pada hewan dan manusia antara lain penyakit pneumonia dan meningitis, Escherichia coli - bakteri gram negatif antara lain menyebabkan kolera dan diare - dan Aspergillus niger - salah satu jamur yang tumbuh pada makanan basi. Ekstrak tidak aktif melawan Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, dan Trichophyton mentagrophytes.
Antibakteri: Daun, akar, dan kulit batang Pterocarpus indicus dipartisi dengan bensin, diklorometan, etil asetat, butanol, dan metanol. Semua fraksi menunjukkan aktivitas antibakteri spektrum luas. Aktivitas yang paling nyata terlihat pada fraksi butanol dan metanol.
-------------------
sumber
[1] Trubus, 100+ Herbal Indonesia 46-50
[2] Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. 2002. Pterocarpus indicus Willd. Informasi Singkat Benih 22.2 halaman.
[3] Ragasa CY, De Luna RD, Hofilena JG. 2005. Antimicrobial terpenoids from Pterocarpus indicus Natural Product Research. 19(4): 305-309
[4] Cooke, R. G. dan Rae, I.D. 1964. Isoflavonoids. I. Some new constituens of Pterocarpus indicus heartword. Australian Journal of Chemistry 17(3): 379-384
[5] Pulunggono HB. 1999. Etnobotani Penduduk Amarasi di Kabupaten Kupang, Penduduk Mollo dan Amanatun di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Barat, Indonesia, Media Konservasi IV (1): 27-35
[6] Novellino D, Ertu F. 2006. Baskets of The World: The Social Significance of Plaited Craft. Proceedings of the IVth International Congress of Ethnobotany (ICEB 2005): 634-635. IVth International Congres of Ethnobotany Yedetipe University, Istanbul, Turki. 21-26 August 2005.
[7] Collins SW, Martins X, Mitchell A, Teshome A, Arnason JT. 2007. Fataluku medicinal ethnobotany and the East Timorese military resistence. Journal of Ethnobiology and ethnomedicine 3(5)
[8] Lense O. 2012. The wild plants used as traditional medicines by indigenous people of Monokwari, West Papua. Biodiversitas 13 (2):98-106
[9] Roosita K, Kusharto CM, Sekiyama M, Fachrurozi Y, Ohtsuka R. 2008. Medicinal plants used by the villagers of a Sundanese community in West Java, Indonesia. Journal of ethnopharmacology 115: 72-81
Posting Komentar untuk "Manfaat Pohon Angsana"